Senin, 19 Desember 2016

[Resensi Novel] Harta Vaeran oleh Pratama Wirya


Harta Vaeran
Pratama Wirya

Judul: Harta Vaeran
Pengarang: Pratama Wirya
Terbit: tahun 2011
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan pertama: tahun 2011
Jumlah halaman: 525 hlm

Terlahir dengan bakat untuk berburu hata berharga yang tersembunyi, Karnthe mengikuti jejak ayahnya dan menjadi seorang Pemburu Harta Karun. Ia bergabung bersama Saeliya, seorang Penyihir Tempur, untuk berburu Harta Vaeran yang legendaris. Seiring ia bertualang, ia mendapat bantuan lagi dari tiga rekan yang bisa diandalkan, yaitu seorang Pengumpul Pengetahuan bernama Fukhoy-ri, seorang Pengelabu Mata bernama Certeus, dan seorang Pedagang Pejuang bernama Karin. Dengan tim multi-profesi yang solid ini, Karnthe pantang menyerah mengejar Harta Vaeran yang ternyata begitu dahsyat melebihi bayangannya.

Cover oke.

Kesan pertama yang saya dapat adalah penulis kurang riset. Kurang detail. Banyak hal-hal luput walaupun cuma sepele tapi sangat terasa. Penulis adalah seorang gamer sehingga perlu banyak riset agar ceritanya detail dan gak aneh. Seolah-olah cerita yang dibikin hanya berdasarkan pengalamannya bermain game saja.

Kemudian baca halaman pertama bab pengenalan tokoh: kenapa namanya susah-susah? Mirip game-game RPG dengan nama-nama tokohnya yang aneh dan asing, susah diucapkan, dan gak punya landasan riwayatnya. Maksudnya, nama-namanya dibikin sesuka penulis saja, yang dirasa keren dan unik dipakai, padahal Vandaria adalah sebuah dunia yang tentu saja punya sejarah.

Lalu, mana petanya? Buku ini banyak menyebutkan dan melibatkan tempat; desa, pegunungan, bukit, lembah, gua, jadi saya rasa peta adalah hal penting di sini.

Alurnya lambat. Karnthe cs banyak berkeliling ke berbagai tempat jadi agak tidak terlalu membosankan. Mungkin ini salah satu yang bikin menarik, banyak tempat yang dikunjungi. Tokoh-tokohnya sendiri kurang menonjol, bahkan untuk tokoh utamanya, Karnthe. Mereka hanya sekedar pemain yang membuat cerita ini ada. Tidak ada keterikatan emosi dengan para tokoh sebab penulis kurang dalam menggali latar belakang mereka. 

Namun, saya cukup menikmati membaca buku ini (karena saya juga pernah main game), terutama di akhir bab ketika petualangan Karnthe cs menjadi semakin menarik dan menegangkan. Ceritanya sangat kental dengan nuansa game-game RPG. Bertualang mencari harta dari satu tempat ke tempat lain ditemani oleh orang-orang yang memiliki keahlian yang berbeda tapi saling melengkapi. Bahkan urut-urutan perjalanan mereka bener-bener RPG banget. Pertama mengunjungi sebuah kota, lalu pegunungan, lanjut ke gua, terus ke desa rahasia , dan yang terakhir adalah tempat menakutkan bagi semua pemain game: kuil! Kalau dalam bahasa game RPG kita harus masuk ke dalam catacomb lantai basement dimana boss bersemayam. Hiiiyyyy!

Jadi saya rasa ini buku yang cukup menyenangkan jika kalian ingin membaca petualangan fantasi yang ringan dan gak rumit tanpa ada konten dewasa (sadistis, kata-kata vulgar). Buku untuk segala usia! Yeyy!




Minggu, 13 November 2016

[Resensi Novel Terjemahan] Under The Dome oleh Stephen King


Under The Dome
Di Bawah Kubah
Stephen King

Judul asli: Under The Dome
Pengarang: Stephen King
Terbit: tahun 2009
Penerjemah: Gita Yuliani
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan pertama: 2013
Jumlah halaman: 576 hlm (buku I), 528 hlm (buku II)

Pada suatu hari yang biasa di Chester's Mill, Maine, tiba-tiba sebuah "kubah" turun menutupi kota itu dan mengisolasinya dari belahan dunia lain. Pesawat-pesawat terbang jatuh karena menabrak kubah itu, orang-orang yang sedang berada di kota tetangga terpisah dari keluarga mereka yang berada di dalam kubah. Tak seorang pun tahu dari mana kubah itu datang, dan kapan akan terangkat kembali. 
Dale Barbara - veteran perang Irak - bersama Julia Shumway - asisten dokter di rumah sakit - dan tiga anak pemberani, berusaha menyelamatan kota itu dari kekacauan dan dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan situasi. Tetapi musuh terbesar mereka adalah kubah itu sendiri. Sebab waktunya semakin singkat.



Salah satu buku favorit saya! Aaaaaakk! Saya mau beli lagi dan bakal disimpen buat koleksi pribadi secara yang lama udah kucel dibawa kemana-mana. Ini buku Stephen King pertama yang saya baca hahahahahah! Jadi penasaran banget nget sama buku-buku lainnya. Ada rekomendasi judul yang paling oke?

Kesan pertama saya baca halaman pertama: banyak banget tokohnya. Apa itu nanti bakal kepake semuanya? Apakah semuanya bakal mempengaruhi jalan cerita?

Dari sekian banyak tokoh akan ada beberapa tokoh utama yang mendominasi cerita. Tokoh-tokoh ini mendapatkan porsi yang sama. Sudut pandang bergantian. Plot ceritanya bagus dan nasib semua tokoh saling terhububg secara tidak terduga. Pemenggalan cerita tiap-tiap bab sempurna sehingga bikin saya penasaran. Seperi film serial yang bersambung saat adegan lagi seru-serunya dan bikin tidak sabar nunggu hari esok untuk tahu kelanjutan ceritanya. Pokoknya cerita setiap babnya seru dan selalu bikin penasaran. Semakin mendekati akhir, semakin serulah ceritaya. Apalagi setelah kemunculan bintang-bintang merah muda. Waaaahhhhh.. apakah itu bintang-bintang merah muda? Penasaraaannnnnn!

Saya suka ide ceritanya. Sederhana tapi bisa diramu jadi cerita yang menarik. Apa yang akan terjadi apabila sekelompok manusia dengan berbagai karakter dan kepentingan dikurung tanpa akses apa pun dan kemana pun, dengan sumber daya yang semakin lama semakin menipis? 

Spoiler alert!

Saya juga suka konsep Stephen King tentang makhluk yang menciptakan kubah itu - mereka sama saja seperti kita, manusia. Mereka hanya ingin bermain-main. Mereka tidak ingin menginvasi bumi. Bayangkan kita yang dikurung ini adalah koloni semut, dimana makhluk-makhluk itu adalah anak-anak yang suka mengganggu semut. Anak-anak itu hanya ingin bersenang-senang, mereka tidak ingin merebut dan menduduki wilayah semut. Hanya penasaran, ingin tahu apa yang akan terjadi kalau kita mengutak-atik sarang semut, atau mencabuti sayap serangga, atau melempari kucing dengan batu. Dan kita tidak akan mampu menang dari anak-anak itu. Kita hanya bisa menunggu sampai mereka bosan dan meninggalkan kita. Atau kita bisa memohon agar mereka berhenti menganggu kita. Itulah jalan keluar paling tidak biasa ketika manusia diserang oleh alien (kalau kita mau menyebut mereka alien). Biasanya dalam cerita fiksi cara menghalau alien adalah dengan melawan balik. Tapi cara dan sudut pandang yang digunakan Stephen King berbeda. Itulah yang bikin spesial.

Ada beberapa hal kecil yang menarik buat saya. Chester's Mill adalah kota kecil dan penduduknya saling mengenal. Saya suka cara mereka saling panggil dengan nama julukan. Samantha jadi Sammy, Romeo jadi Rommie, Barbara jadi Barbie, Junior jadi Junes, Eleanor jadi Norie. Saya juga mengamati bahwa ternyata di dalam kekacauan dan kepanikan yang terjadi, yang bisa dilakukan para tokohnya hanya menunggu. Dan ternyata menunggu adalah jalan keluar terbaik. 

Saya baru pertama baca buku Stephen King dan saya pikir bakal serius karena genre beliau. Vulgar dan sadis memang benar. Tapi ternyata ada yang lucu, lho. Banyak adegan dan kalimat yang bikin senyum-senyum. Seperti situasi yang digambarkan di hal. 495. 

Buku yang bikin saya tidak pengen buru-buru namatin, karena kalau sudah selesai maka saya harus berpisah sama tokoh-tokohnya. Tokoh favorit saya tentu saja Barrrrrbbbbiieeee. Saya paling pengen punya kekuatan super kaya punya Barbie, dimana dia bisa nahan amarah sekaligus bertindak logis. Pokoknya, "intinya adalah bersikap ramah terhadap orang-orang yang sebetulnya ingin kauludahi." hal 440. Lalu ada Junior, tokoh yang bisa bikin jatuh cinta dan benci secara bersamaan hahahaha. Dan Carter, saya penasaran seperti apa sosoknya kalau digambarkan secara visual. 

Kubah. Di satu sisi mengacaukan kehidupan, di sisi lain mempererat ikatan. Saya pikir kubah adalah anugerah dari Tuhan. Dia ingin menyampaikan suatu pesan pada manusia dengan caraNya sendiri.

Dalam segala hiruk pikuk,kekacauan, kepanikan, tragedi, drama; kejadian kubah hanya berlangsung selama seminggu! Bayangkan!




Sabtu, 22 Oktober 2016

[Resensi Novel Terjemahan] Fortunately, The Milk oleh Neil Gaiman


Fortunately, The Milk
Untunglah, Susunya
Neil Gaiman

Judul asli: Fortunately, The Milk
Pengarang: Neil Gaiman
Terbit: tahun 2013
Penerjemah: Djokolelono
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan pertama: 2014
Jumlah halaman: 128 hlm

Apa ya. Saya kurang suka ceritanya. Saya kurang suka artworknya. Menurut saya berantakan, tidak rapi. Bahkan, fontnya yang beda-beda pun juga kurang pas di mata saya. Yang saya suka dari keseluruhan buku ini hanya covernya - background putih dan bersih bikin gambarnya kelihatan bagus dan menonjol. Bahkan, fontnya yang beda-beda pun juga kurang pas di mata saya.

Inti ceritanya adalah: seorang ayah yang ngeles karena kelamaan beli susu di luar dengan bercerita ke anak-anaknya kalau dia habis mengalami kejadian ajaib yang bikin dia jadi telat pulang. Entah apa yang sebenarnya dilakukan ayah di luar sana itulah yang bikin rodo penasaran juga. Tidak sampe baper, sih. Nah, buku ini berisi tentang petualangan ayah yang aneh bin nyleneh itu. Ketemu alien, bajak laut, dinosaurus, vampir, my little pony abal-abal, dst. Aneh lah pokoknya wkwkwkw.

Alurnya cepet banget. Dari satu petualangan langsung lompat ke petualangan lain. Baru ketemu sama vampir udah langsung saja bubar trus ketemu my little pony karbitan hehe.

Bukunya tipis banget. Artworknya gede-gede. Sejam juga habis dibaca.

Bukan buku favorit :(







Senin, 05 September 2016

[Resensi Novel Terjemahan] The Book Club oleh Mary Alice Monroe


The Book Club
Kisah Lima Wanita
Mary Alice Monroe

Judul asli: The Book Club
Pengarang: Mary Alice Monroe
Terbit: tahun 1999
Penerjemah: Deasy Ekawati
Penerbit: VioletBooks
Cetakan pertama: 2014
Jumlah halaman: 453 hlm

Dari luar, kelompok itu hanyalah sebuah klub membaca biasa. Tapi bagi lima orang wanita, klub itu adalah sesuatu yang jauh lebih bermakna. Bagi Eve Porter, yang segala keamanan hidup yang telah direncanakannya direnggut karena suaminya mendadak meninggal, klub itu adalah tempat perlindungan. Bagi Annie Blake, seorang pengacara hebat yang berniat memiliki keluarga meski sudah terlambat, klub itu adalah kesempatan untuk menurunkan pertahanan dirinya dan memimpikan banyak kemungkinan lain. Bagi Doris Bridges, klub itu adalah pendukungnya saat dia mengakui bahwa pernikahannya sekarat dan memperoleh kebebasan yang sesungguhnya dalam pengkhianatan suaminya. Bagi Gabriella Rivera, sang istri, ibu, dan sahabat 'sempurna' yang menawarkan dukungan bagi semua orang tapi enggan meminta dukungan bagi dirinya sendiri, klub itu memberinya suasana kekerabatan. Dan bagi Midge Kirsch, seorang seniman yang selalu menjalani hidup melawan arus, klub itu bagai surga yang menerimanya. 
Merekalah lima wanita dengan jalan kehidupan yang berbeda, yang menerima tantangan dalam perubahan hidup mereka. Dan saat mereka berbagi harapan, ketakutan, dan kemenangan, mereka akan berpegang erat pada keajaiban sejati sebuah klub membaca - yaitu persahabatan.

Kesan pertama setelah membaca buku ini; di luar dugaan. Saya suka ceritanya walaupun awalnya ragu karena ini bukan genre favorit saya. Ceritanya sedikit banyak menggambarkan kehidupan saya dan mungkin orang-orang sekitar saya. Dan cerita buku ini juga menyadarkan saya kalau ternyata mungkin saya sedikit menyukai cerita dengan tema seperti ini.

Titik awal kisah ini dimulai dari meninggalnya suami Eve Porter. Dari situ cerita mulai bergulir dan masalah-masalah yang dialami para tokoh mulai bermunculan. Buku ini bercerita tentang kehidupan lima wanita, namun Eve Porter adalah tokoh utama dengan porsi cerita yang paling banyak dan detail. Cerita Eve Porter mampu mengawali kisah dengan apik dan nantinya menjadi penutup yang indah.

Kejadian-kejadian yang dialami para tokoh sangat dekat dengan keseharian kita, terutama tradisi timur dan cara pandang kuno yang masih mengekor kakek nenek buyut. Dan juga bagaimana cara pandang dan sikap kita menghadapi masalah secara umum. Tapi semua masalah pastinya ada jalan keluar, tinggal bagaimana kita berani dan bertekad untuk mengatasinya. Dan para tokoh ini akhirnya mampu melaluinya, walaupun tidak semua berakhir bahagia.

Persahabatan mereka sangat indah. Mereka jujur satu sama lain. Bahkan untuk hal yang terasa sepele dan malu untuk diungkapkan. Namun, mereka memiliki pribadi masing-masing yang kuat. Mereka punya aturan dan cara hidup yang berbeda, dan itulah yang terbaik untuk mereka. Dan mereka saling menghormati dan memahami perbedaan itu. Hmm, terdengar seperti persahabatan yang sempurna. Bikin iri hehehe.

Banyak hal menarik dan nasehat yang bisa dipetik dari buku ini. Seperti ketika Midge memandang dan mampu memahami kondisi Eve Porter, sebuah transisi status dari menikah menjadi janda, dari dicintai menjadi ditinggalkan. Lalu cara Midge mengatasi rasa tertekan karena kesendiriannya, terdengar klise tetapi realistis,
"... aku hanya perlu melihat ke sekeliling dan melihat segala hal yang patut kusyukuri,..." Benar, kan? Bersyukurlah :)

Sedikit clue apa saja yang dihadapi para wanita hebat ini:
1. Suami yang meninggal secara mendadak, dan sang istri yang terbiasa hidup mapan dan tidak bekerja harus bisa mengatasi masalah finansial keluarga. Kembali mencari pekerjaan setelah lebih dari 20 tahun tidak bekerja. Keluar dari zona nyaman kehidupan berkeluarga yang mapan dan ideal, Membesarkan dua anak yang masih sekolah sekaligus mencari penghasilan mulai dari nol.
2. Kenyataan bahwa tubuhmu mengidap penyakit yang membuatmu tidak bisa memiliki anak di saat kamu sangat menginginkan anak. Yang membuatmu tambah tertekan adalah bahwa kamu seorang dengan gaya hidup yang sangat sehat, sehingga rasanya mustahil bagimu bisa mendapat penyakit itu.
3. Perselingkuhan.
4. Rasa sendiri dan kesepian tanpa pasangan
5. Saat kamu pikir dirimu baik-baik saja, ibu dengan empat anak yang juga bekerja. Tapi tanpa sadar dirimu kewalahan menjalani peran itu. Tambah tertekan saat suami tiba-tiba kena PHK sehingga kamu harus bekerja lebih keras agar bisa membiayai kebutuhan keluarga.

Jadi, saya suka novel ini. Buku yang bagus! Bercerita tentang keluarga, persahabatan, melepaskan, bertahan hidup, cinta, perjuangan, harapan, dan mimpi. Karakter tokoh-tokohnya begitu hidup dan realistis. Setiap tokoh memiliki masalah yang berbeda dan sangat dekat dengan kehidupan nyata. Kehilangan, penyakit, kesendirian, perceraian. Sehingga seolah-olah kisah kita pasti ada yang sedikit banyak mirip dengan kisah salah satu dari lima tokoh buku ini. Saya merasa kelima tokoh ini terkadang tidak seperti berusia 45 tahun. Mereka seperti berusia 20, 30, sama seperti usia kita; jika tidak mengingat kalau mereka tidak memiliki anak yang sudah SMU bahkan kuliah.


Banyak hal menarik dan nasehat yang bisa dipetik dari buku ini. Seperti ketika Midge memandang dan mampu memahami kondisi Eve Porter, sebuah transisi status dari menikah menjadi janda, dari dicintai menjadi ditinggalkan. Lalu cara Midge mengatasi rasa tertekan karena kesendiriannya, terdengar klise tetapi realistis,
"... aku hanya perlu melihat ke sekeliling dan melihat segala hal yang patut kusyukuri,..." Benar, kan? Bersyukurlah :)

Nasehat lainnya: selalu siapkan mental dan fisikmu. Jadilah pribadi mandiri. Cintailah dirimu sendiri apa adanya. Nikmatilah setiap momen. Jalani peranmu sebaik mungkin, apa pun itu. Teruslah belajar siapa pun dirimu dan berapa pun usiamu. Maksud saya, teruslah belajar, pelajaran apa pun itu. Dan yang paling penting menurut saya adalah: selalu katakan apa isi hatimu sebelum terlambat. Katakan kata-kata indah seperti "aku sayang kamu", "aku cinta kamu" sebelum semua terlambat dan hanya tinggal penyesalan.


Ada yang berbeda dari buku ini. Salah satu buku dimana bagian awal cerita sangat menarik dan bikin penasaran gak bisa berhenti baca. Tapi bagian akhir cerita lumayan membosankan. Kenapa?


Bagian awal sampai tengah buku kita disuguhi cerita seputar masalah yang dihadapi para tokoh, keputusasaan dan depresi, yang berlanjut pada perjuangan untuk bangkit dari keterpurukan. Penulis mampu menggambarkan kondisi lingkungan dan perasaan para tokoh dengan baik sehingga kita bisa ikut merasakan kesedihan dan ikut hanyut dalam kehidupan mereka.Tentu saja yang bikin penasaran adalah apa sih yang terjadi sama mereka? Terus apa sih yang akan dilakukan mereka untuk mengatasinya? Apa solusinya?


Bagian sepertiga buku terakhir bercerita tentang penyelesaian masalah mereka, walaupun tidak semua happy ending. Saya merasa masa-masa kritis dan transisi mereka sudah terlewati sehingga ketegangan sedikit demi sedikit mereda. Itu yang bikin bosen..


Endingnya bagus, lho. Sederhana tapi perasaan itulah yang memang seharusnya dilakukan dengan ikhlas: melepaskan, move on :)







Senin, 08 Agustus 2016

[Resensi Novel Terjemahan] The Eye of Minds oleh James Dashner


The Eye of Minds
Mata Batin
James Dashner

Judul asli: The Eye of Minds
Pengarang: James Dashner
Terbit: tahun 2013
Penerjemah: Sadiqah Begum
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan pertama: 2016
Jumlah halaman: 320 hlm

Seperti pecandu game pada umumnya, Michael menghabiskan sebagian waktu berseluncur di VirtNet dibandingkan di dunia nyata. Berkat teknologi, siapa pun yang memiliki cukup uang bisa merasakan seperti apa dunia imajinasi, mempertaruhkan nyawa tanpa takut mengalami kematian, atau sekedar bercengkerama dengan teman-teman di dunia Virt. Dan jika kau memiliki kemampuan meretas, dunia itu akan semakin menyenangkan. Untuk apa repot-repot mematuhi peraturan jika semua itu konyol?
Tetapi beberapa peraturan dibuat karena suatu alasan. Beberapa teknologi terlalu berbahaya untuk dimainkan. Seorang hacker telah bertindak lebih jauh daripada seharusnya: dia menyandera beberapa pemain dalam VirtNet. Tetapi motif sang pemain masih menjadi misteri. 
Michael direkrut untuk menumpas sang hacker dengan risiko nyawanya sebagai taruhan. 

Berharap menemukan buku dengan tema game yang bagus, tapi tidak pada buku ini. Teknologi yang digunakan dalam cerita ini terlalu canggih sehingga saya kurang bisa menganalogikannya dengan perkembangan dunia game sekarang ini. Jadi feelnya kurang dapet. Walaupun detailnya kurang suka, tapi alur ceritanya bagus. Twist cerita bikin saya tertegun juga. Bisa ditebak, tapi juga tidak tertebak!

Tiap bab ceritanya pendek. Alur cerita sangat lambat dan membosankan. Detail sangat minim sehingga banyak bingungnya dan akhirnya saya jadi mereka-reka sendiri menurut gambaran yang saya tangkap. Beberapa adegan dibuat memaksa. Banyak adegan tidak relevan yang jika dihilangkan pun tidak akan berpengaruh pada jalan cerita. Beberapa adegan juga diceritakan kurang detail sehingga bikin saya bertanya-tanya juga, apa maksudnya ini? Kenapa bisa begini? Misal: adegan saat Michael cs berada di lorong panjang dengan suara-suara mistis. Suara apa itu pada akhirnya tidak dijelaskan oleh penulis. 

Jujur saya bosan baca buku ini. Hingga sampai bab 24 ke atas baru bisa mengusik rasa penasaran saya. Tempat-tempat yang harus dilewati oleh para tokoh sangat biasa banget: medan perang, lorong misterius, gunung berapi, hutan, Kurang mengesankan. Sepertinya penulis tidak ingin menonjolkan detail remeh temeh tentang dunia VirtNet, tapi lebih bermain pada intrik yang diharapkan bisa mengecoh pembaca. Karena nanti sepertinya akan ada bencana yang lebih besar sekedar hacker yang mengobrak-abrik dunia VirtNet. Masih ada banyak tanda tanya.

Tetapi yang membuat saya bingung untuk pertama kalinya, adalah konsep VirtNet itu sendiri. Saya susah membayangkannya. Latar belakang tempat juga kurang jelas, di kota atau negara mana dan tahun berapa saat itu, kok bisa ada teknologi secanggih itu. Lalu, game Lifeblood itu genrenya apa? Sistem permainannya seperti apa? Apa kekuatan/skill dari para pemainnya? Banyak kontradiksi, seperti Ronika yang dikabarkan memiliki kekuatan 10x lipat dari Michael, tapi dia mati dengan mudahnya. Juga diceritakan banyak kasus kematian karena game Lifeblood, tetapi kenapa game ini tidak dituntut? Ditutup servernya? 

Identitas tokoh utama,Michael, sangat di luar dugaan. Maksudnya, saya tahu siapa dia sebenarnya, tetapi saya terkejut dari mana ternyata dia berasal. Selain itu tujuan utama dari tokoh musuh, Kaine, yang dikejar-kejar polisi dunia maya benar-benar berbeda dari apa yang para polisi dan saya sendiri pikirkan.

VirtNet sendiri apa sih? VirtNet adalah sebuah teknologi yang sangat canggih. Secara garis besar, saat akan bermain game di VirtNet kalian akan berbaring di sebuah kotak yang bayangkan saja seperti peti mati, bernama Nervebox. Di dalam, badan kalian akan tersambung ke dalam game melalui kabel-kabel yang menempel di seluruh tubuh. Fungsi kabel itu bermacam-macam, seperti untuk memberi tubuh nyata cairan makanan selama kalian bermain berjam-jam di VirtNet. Karena saat kalian sudah tersambung dan masuk ke dalam dunia virtual, badan seakan mati suri atau tertidur. Jadi kabel-kabel itu yang akan mengurus segala kebutuhan tubuh kalian di dunia nyata. Makanya di dalam VirtNet kalian bisa merasakan sakit, lapar, terjatuh, dsb seperti kenyataan.



Beberapa istilah penting dalam buku
Tangen: istilah dalam buku untuk NPC (Non-Playable Character), silakan browsing untuk arti NPC
VirtNet: teknologi sebuah game 
Lifeblood: salah satu judul game di dalam VirtNet
Lifeblodd Deep: dungeon misterius yang menjadi tujuan akhir para pemain Lifeblood

Petualangan di buku ini banyak melibatkan kemampuan hacking, namun proses hacking itu sendiri tidak dijabarkan secara detail. Banyak Typo. Secara garis besar, buku ini tidak sesuai ekspektasi..

Agak merinding juga membayangkan seandainya teknologi seperti VirtNet akhirnya berhasil ditemukan di bumi ini. Atau mungkin sudah?





Senin, 11 Juli 2016

[Resensi Novel Terjemahan] The Children of Hurin oleh JRR. Tolkien


The Children of Hurin
Putra-putri Hurin
JRR. Tolkien

Judul asli: The Children of Hurin
Pengarang: JRR. Tolkien
Terbit: tahun 2007
Penerjemah: Gita Yuliani K
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan pertama: 2016
Jumlah halaman: 343 hlm

Kisah anak-anak Hurin berlangsung jauh sebelum The Lord of the Rings, ketika Morgoth masih menghuni benteng Angband di Utara. Dalam bayang-bayang Angband serta perang yang dikobarkan Morgoth terhadap elves inilah nasib Turin dan adiknya Nienor saling terkait secara tragis.
Hidup mereka yang singkat dan penuh tragedi didominasi oleh kebencian Morgoth yang luar biasa terhadap Hurin, manusia yang berani menentangnya terang-terangan. Morgoth mengirim pelayannya yang paling digdaya, Glaurung, roh dahsyat berbentuk naga api raksasa tak bersayap, untuk menggenapi kutukan Morgoth dan menghancurkan anak-anak Hurin.
Dimulai oleh JRR. Tolkien pada akhir perang dunia pertama, The Children of Hurin menjadi kisah yang dominan dalam karya Tolkien setelahnya tentang Middle-earth. Tetapi dia tak sempat mewujudkannya dalam bentuk final. Dalam buku ini Christopher Tolkien telah menyusun suatu narasi yang utuh tanpa intervensi penyuntingan setelah melalui pengkajian lama atas naskah-naskah ayahnya.

Buku Mr Tolkien yang bikin baper seumur hidup! Mungkin bisa saja seumur hidup karena udah seminggu ini saya masih terbayang-bayang kisah Turin. Ketika ada kesempatan melamun, pikiran saya melayang ke Middle-earth, ikut meratapi nasib Turin yang tragis.

Kisah berawal dari seorang manusia gagah berani bernama Hurin.

Pada suatu masa, Hurin dan Huor, adiknya, ikut rombongan pasukan untuk berburu orc. Dalam pertempuran melawan sekelompok orc, mereka terpisah dari rombongan dan tersesat. Mereka lalu ditolong oleh Elang dan dibawa terbang menuju Gondolin, sebuah kerajaan elf yang tersembunyi dan bahkan Morgoth pun tidak tahu keberadaannya. Mereka diterima oleh Raja di sana dan tinggal di kerajaan itu. Setelah satu tahun mereka ingin pulang ke negerinya karena merasa harus ikut berperang bersama rakyatnya melawan kegelapan. Mereka bersumpah tidak akan bercerita apa pun tentang Gondolin. 

Alkisah Hurin memiliki dua anak, Turin dan Urwen. Saat negeri  mereka, Dor-lomin, dilanda wabah penyakit yang dihembuskan oleh Morgoth, Turin berhasil sembuh tetapi Urwen meninggal. Maka timbul perasaan benci dan dendam terhadap Morgoth pada diri Turin. Kegelapan yang semakin dekat membuat Hurin harus terus berperang mengusir orc. Dalam sebuah perang besar dimana manusia dan elf bergabung untuk melawan Morgoth, kebaikan kalah. Hurin berhasil ditangkap dan ditawan oleh Morgoth.

Di benteng Angband, Hurin dipaksa Morgoth untuk memberitahu lokasi Kerajaan Gondolin tetapi Hurin menolaknya. Maka Morgoth pun mengutuk seluruh keluarga dan keturunan Hurin. Hurin diikat di menara tertinggi dan dipaksa untuk menyaksikan sendiri keturunannya suatu saat akan hancur akibat kutukan Morgoth.

Hurin pun tidak kembali ke negerinya, dan tidak ada seorang pun yang berhasil kembali untuk sekadar memberi kabar. Sesuai pesan Hurin, Morwen, istrinya, mengirim Turin kecil kepada Raja Thingol di Doriath. Morwen yang berkeras menunggu kepulangan suaminya, tetap tinggal di Dor-lomin. Selain itu dia juga sedang hamil.

Turin diterima di Doriath dan tinggal di sana hingga dewasa. Suatu hari, dia dihina oleh seorang elf yang iri padanya bernama Saeros. Turin yang tumbuh menjadi pemuda kuat dan berani memburu Saeros hingga tidak sengaja Saeros jatuh ke sungai dan meninggal. Turin pun kabur dari Doriath. 

Dalam pelarian, Turin bertemu sekelompok penyamun dan berhasil menjadi pemimpin mereka. Suatu hari ketika mengembara, kelompok penyamun itu bertemu dengan kurcaci bernama Mim. Mereka pun tinggal di gua tempat tinggal Mim.

Seorang elf dari Doriath yang merupakan sahabat Turin bernama Beleg berhasil menemukan lokasi Turin. Beleg pun bergabung dengan kelompok penyamun itu. Morgoth yang tahu lokasi persembunyian Turin mengirim pasukan orc untuk menangkap Turin. Mim yang sangat membenci ras elf berkhianat, dan memberitahukan pada orc tempat persembunyain Turin dan Beleg. Kelompok penyamun itu akhirnya kalah. Turin dibawa pergi dan Beleg diikat dan ditinggalkan di tempat. Namun, Beleg berhasil bebas dan mengejar Turin.

Di jalan dia bertemu dengan seorang elf yang berhasil kabur dari Angband bernama Gwindor. Berdua mereka berhasil membuntuti Turin. Rombongan orc sedang beristirahat saat Beleg mengendap-endap hendak membebaskan Turin yang terikat. Turin yang saat itu pingsan karena kelelahan tersadar dan kaget melihat ada orc yang membungkuk seolah ingin menusuknya. Reflek Turin melindungi diri dengan menusukkan pedang ke arah sosok yang sesungguhnya adalah Beleg. Beleg pun meninggal.

Turin dan Gwindor melanjutkan perjalanan menuju ke Nargothrond, negeri tempat Gwindor berasal. Sekali lagi karena kecakapannya, Turin dipercaya menjadi penasehat Raja Orodreth, penguasa Nargothrond. Pada saat itulah, Morwen dan Nienor, adik kedua Turin yang belum pernah dilihatnya, kabur ke Doriath; berharap bisa bertemu Turin di sana. Padahal Turin sudah bertahun-tahun lari dari negeri itu.


Saatnya tiba ketika Morgoth akhirnya mengirim Glaurung untuk menghancurkan Nargothrond sekaligus memburu Turin. Turin pun berhadapan langsung dengan naga itu. Glaurung berhasil melancarkan sihir pada Turin sehingga dia menjadi linglung. Dalam kebingungannya, Turin berjalan menuju Dor-lomin. Glaurung pun berhasil menaklukkan Nargothrond.


Sampailah Turin di negeri kelahirannya, Dor-lomin. Namun, ibunya sudah lama meninggalkan tempat itu. Turin tidak hendak menyusul Morwen ke Doriath sebab khawatir ibunya akan ikut ditimpa kesialan akibat kutukan Morgoth yang selalu mengikuti ke mana Turin pergi. Turin lalu berbelok menuju negeri Brethil dan dia disukai di sana. Turin mengubah namanya menjadi Turin Turambar. Hidup Turin yang selalu dalam pengembaraan dan berpindah-pindah membuatnya memiliki banyak nama dan julukan. 


Morwen yang sudah mendengar kabar tentang Nargothrond dan isu keberadaan Turin berniat untuk mencari Turin ke sana. Nienor ikut. Sampai Nargothrond keadaan sudah hancur lebur. Glaurung yang tinggal di balairung istana Nargothrond mengetahui kedatangan Morwen dan dia menghembuskan kabut asap yang membuat Morwen dan Nienor terpisah. Nienor yang berjalan terseok di tengah kabut pekat tidak sengaja bertemu Glaurung dan terkenalah dia pada sihir naga itu. Nienor menjadi gila dan berlari kalang kabut hingga sampailah dia di Brethil. Nienor yang pingsan ditemukan oleh Turambar (Turin). Nienor yang hilang ingatan lalu diberi nama Niniel oleh Turambar. Niniel pun tinggal di Brethil. Seiring waktu Turambar dan Niniel saling menyukai dan menikahlah mereka (nooooo!). 


Singkat cerita Glaurung sampai juga ke wilayah Brethil. Turambar berhasil mengalahkannya, namun dia pingsan di samping Glaurung akibat racun dari tubuh Sang Naga. Niniel yang datang mencari Turambar menemukannya tergeletak dan menyangka dia sudah mati. Glaurung saat itu sekarat. Sebelum mati dia mengungkapkan segala kebenaran tentang Turin kepada Niniel. Setelah mati, sihir yang menguasai Niniel pun juga ikut musnah bersama pemiliknya. Maka kembalilah semua ingatan Niniel. Niniel syok dan depresi setelah mengetahui kebenaran itu akhirnya bunuh diri. Padahal dia sedang hamil. Turambar akhirnya siuman. Tak lama dia juga mengetahui kebenaran tentang dirinya sendiri dan juga kematian Niniel akhirnya ikut bunuh diri. 


Maka berakhirlah kisah Hurin dan anak-anaknya; Turin, Urwen, dan Nienor.




Covernya keren.

Disisipi ilustrasi berwarna yang tidak kalah kerennya.

Beberapa quote dalam buku ini:

"... Aku sudah menyaksikan tiga zaman di bagian Barat dunia, banyak kekalahan dan banyak kemenangan yang tidak berbuah."
Memang benar apa kata Elrond yang Bijak. Perang tidak membawa kebaikan apa pun. Yang kalah yang menang, tidak ada satu pun pihak yang diuntungkan.

"Duka adalah asah bagi benak yang keras."

Orang yang telah banyak mengalami kesedihan pasti hatinya akan lebih tegar dan kuat.

Diantara sekian bab, saya paling kagum dengan bab III yang bercerita tentang percakapan (atau perdebatan) antara Morgoth dengan Hurin. Morgoth berusaha membujuk Hurin agar memberitahu di mana letak Gondolin, namun Hurin benar-benar tangguh dan rahasia keberadaan Gondolin tetap aman. Debat yang mereka lakukan sungguh elegan. Kalimat yang digunakan tetap indah untuk sebuah perdebatan yang penuh kebencian dan diucapkan oleh Raja dari segala keburukan dan kejahatan. Maknanya pun sungguh dalam. Wow.

Entah gimana saya kok merasa tulisan Christopher Tolkien, kata-kata yang digunakan, kalimat yang dirangkai, tidak seindah tulisan JRR. Tolkien. Sebenarnya kisah Turin ini bentuk aslinya adalah prosa, puisi yang panjang sekali. Lalu diubah oleh Christopher Tolkien dalam bentuk narasi cerita. Nanti akan disebutkan contoh prosanya di bagian akhir buku. Bentuknya sungguh indah namun memusingkan kalau dibaca wkwkwk.

Kisah yang menyedihkan, tragis, namun apik (atau malah epik wkwkwk). Sebuah drama dengan latar belakang Middle-earth. Banyak kutukan di dalamnya, banyak kematian yang merenggut orang-orang yang baik. Kesialan akibat kutukan Morgoth tidak hanya berlaku pada Turin, tapi juga orang-orang yang berhubungan dengannya. Cara Mr Tolkien merancang takdir Hurin dan anak-anaknya sungguh indah. 

Morgoth memang keterlaluan sadisnya wkwkwk. Kutukan-kutukan sebelumnya belum lah seberapa dibandingkan kutukan terakhir yang menjadi penghabisan. Bagaimana perasaan Turin, Nienor, dan melebihi segalanya Hurin. Dia mengetahui segala sepak terjang Turin melalui matanya sendiri. Dan dia tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan memalingkan muka agar tidak melihat saja tidak mampu. Dia terpaksa melihat kenyataan pahit nasibnya dan keturunannya.


Tokoh favorit saya tentu saja Turin. Seorang rebel yang angkuh dan sombong tapi kuat, berani, dan terbukti mampu menjadi pemimpin dan disegani di mana pun dia berada. Dia juga mampu bertahan dari semua kutukan Morgoth kecuali satu: cinta. 

Rampung baca buku ini saya mendapat satu pesan penting: bahwa segala akar permasalahan dari kisah Turin adalah bercokolnya sifat sombong dan angkuh pada dirinya. Turin adalah karakter yang heroik. Saya pun terpesona pada keberanian dan sifat angkuhnya. Sayangnya dia bernasib buruk. Mungkin karena kutukan dari Morgoth, mungkin juga karena kesombongan yang menjerumuskannya pada kesialan.


Sayang, banyak typo dan makin ke belakang makin banyak typo-nya.


Minggu, 05 Juni 2016

[Resensi Novel Terjemahan] The Girl on The Train oleh Paula Hawkins

The Girl on The Train
Paula Hawkins

Judul asli: The Girl on The Train 
Pengarang: Paula Hawkins
Terbit: tahun 2015
Penerjemah: Ingrid Nimpoeno
Penerbit: Noura Books
Cetakan keempat: November 2015
Jumlah halaman: 431 hlm


Rachel menaiki kereta komuter yang sama setiap pagi. Di pinggiran London, keretanya akan berhenti di sebuah sinyal perlintasan, tepat di depan rumah nomor lima belas. Tempat sepasang suami istri menjalani kehidupan yang tampak bahagia, bahkan nyaris sempurna. Pemandangan ini mengingatkan Rachel pada kehidupannya sendiri yang sebelumnya sempurna.
Pada suatu pagi, Rachel menyaksikan sesuatu yang mengejutkan. Hanya semenit sebelum kereta mulai bergerak, tapi itu pun sudah cukup. Kini pandangannya terhadap pasangan itu pun berubah. 
  
Seperti ada yang mengganjal setelah selesai membaca buku ini. Cerita ini seharusnya tidak habis sampai di sini saja. Saya masih termangu-mangu bagaimana kisah hidup Rachel selanjutnya. Cerita ini seakan memberikan banyak tanda tanya di benak saya.

Dua hal yang saya tangkap berkaitan antar tokoh:

1. Gangguan psikologis
2. Masalah bayi

Sejujurnya saya kurang menikmati buku ini, hingga pada bagian akhir buku di mana cerita baru terasa menegangkan. Saya juga kurang ahli memahami alur cerita yang memakai dua sudut pandang dan waktu yang berbeda.

Pengarang lihai menciptakan tokoh dengan karakter masing-masing yang kuat. Rachel yang alkoholik. Megan yang bebas tapi kesepian, Anna yang lemah, Tom yang pandai berbohong, dan Scott yang posesif. Semua tokoh di cerita ini mendapat porsi yang cukup sehingga pembaca akan mengenal dengan baik pribadi tiap tokoh. Pengarang menciptakan tokoh-tokoh yang tidak sempurna; semuanya cacat dan memiliki kelemahan serta masalah psikologis. Pembaca akan diajak untuk bermain-main dengan pikiran Rachel. Saya sendiri sampai pusing juga, mana yang nyata mana yang cuma khayalan Rachel. Isu yang diangkat oleh pengarang adalah tentang bayi, ini lah sesungguhnya yang menjadi sumber dari segala kekacauan dalam cerita ini.

Saya merasa sedikit kasihan kepada Megan. Garis keturunannya sudah habis, sudah berakhir. Ayah dan ibunya mati. Kakaknya satu-satunya mati. Bayinya mati. Dia sendiri akhirnya juga mati bersama dengan janin yang sedang dikandungnya. Saya bingung bagaimana cara Megan membagi waktunya dengan Kamal, Tom, bahkan Scott. Saya anggap dia menjalin hubungan dengan tiga pria berbeda dalam satu waktu. Melelahkan sekaligus memprihatinkan..

Membaca buku ini membuat saya merasa sendu dan galau. Covernya saja suram. Jangan mengharapkan happy ending, yah. Tidak ada yang bahagia sebab semua tokoh di cerita ini adalah korban.