Minggu, 05 Juni 2016

[Resensi Novel Terjemahan] The Girl on The Train oleh Paula Hawkins

The Girl on The Train
Paula Hawkins

Judul asli: The Girl on The Train 
Pengarang: Paula Hawkins
Terbit: tahun 2015
Penerjemah: Ingrid Nimpoeno
Penerbit: Noura Books
Cetakan keempat: November 2015
Jumlah halaman: 431 hlm


Rachel menaiki kereta komuter yang sama setiap pagi. Di pinggiran London, keretanya akan berhenti di sebuah sinyal perlintasan, tepat di depan rumah nomor lima belas. Tempat sepasang suami istri menjalani kehidupan yang tampak bahagia, bahkan nyaris sempurna. Pemandangan ini mengingatkan Rachel pada kehidupannya sendiri yang sebelumnya sempurna.
Pada suatu pagi, Rachel menyaksikan sesuatu yang mengejutkan. Hanya semenit sebelum kereta mulai bergerak, tapi itu pun sudah cukup. Kini pandangannya terhadap pasangan itu pun berubah. 
  
Seperti ada yang mengganjal setelah selesai membaca buku ini. Cerita ini seharusnya tidak habis sampai di sini saja. Saya masih termangu-mangu bagaimana kisah hidup Rachel selanjutnya. Cerita ini seakan memberikan banyak tanda tanya di benak saya.

Dua hal yang saya tangkap berkaitan antar tokoh:

1. Gangguan psikologis
2. Masalah bayi

Sejujurnya saya kurang menikmati buku ini, hingga pada bagian akhir buku di mana cerita baru terasa menegangkan. Saya juga kurang ahli memahami alur cerita yang memakai dua sudut pandang dan waktu yang berbeda.

Pengarang lihai menciptakan tokoh dengan karakter masing-masing yang kuat. Rachel yang alkoholik. Megan yang bebas tapi kesepian, Anna yang lemah, Tom yang pandai berbohong, dan Scott yang posesif. Semua tokoh di cerita ini mendapat porsi yang cukup sehingga pembaca akan mengenal dengan baik pribadi tiap tokoh. Pengarang menciptakan tokoh-tokoh yang tidak sempurna; semuanya cacat dan memiliki kelemahan serta masalah psikologis. Pembaca akan diajak untuk bermain-main dengan pikiran Rachel. Saya sendiri sampai pusing juga, mana yang nyata mana yang cuma khayalan Rachel. Isu yang diangkat oleh pengarang adalah tentang bayi, ini lah sesungguhnya yang menjadi sumber dari segala kekacauan dalam cerita ini.

Saya merasa sedikit kasihan kepada Megan. Garis keturunannya sudah habis, sudah berakhir. Ayah dan ibunya mati. Kakaknya satu-satunya mati. Bayinya mati. Dia sendiri akhirnya juga mati bersama dengan janin yang sedang dikandungnya. Saya bingung bagaimana cara Megan membagi waktunya dengan Kamal, Tom, bahkan Scott. Saya anggap dia menjalin hubungan dengan tiga pria berbeda dalam satu waktu. Melelahkan sekaligus memprihatinkan..

Membaca buku ini membuat saya merasa sendu dan galau. Covernya saja suram. Jangan mengharapkan happy ending, yah. Tidak ada yang bahagia sebab semua tokoh di cerita ini adalah korban.