Sabtu, 29 Agustus 2015

[Resensi Novel] Three Weddings and Jane Austen oleh Prima Santika


Three Weddings and Jane Austen
Prima Santika

Judul: Three Weddings and Jane Austen
Pengarang:  Prima Santika
Terbit: Januari 2012
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan kedua: Maret 2012
Jumlah halaman: 464 hlm

Tak ada yang lebih membahagiakan seorang ibu daripada melihat anak gadisnya menikah dengan pria baik yang dicintainya.
Seperti memiliki pajangan kristal yang indah dan sangat mahal, memiliki anak gadis dewasa yang belum menikah rasanya selalu dalam kebimbangan. Kalau dipajang, takut dicuri orang. Tapi kalau hanya disimpan, takut tak ada yang tahu. Dan jangan sampai pecah atau hilang, karena kebahagiaan hakiki seorang wanita setelah menjadi ibu adalah menjadi nenek bagi para cucunya. 
Ibu Sri memiliki tiga gadis yang belum juga menikah di usia matang mereka. Emma 35 tahun, Meri 30 tahun, dan Lisa 29 tahun. Dia sangat menyukai novel-novel karya Jane Austen dan berpendapat semua masalah percintaan anak-anaknya dapat mengambil suri tauladan yang tersirat dalam novel-novel itu. Namun seperti nasib kebanyakan gadis lajang, cinta tak selalu bersatu dan jodoh tak ada yang tahu. Kini Ibu Sri tak bisa hanya menasihati. Dia harus melakukan sesuatu untuk menolong gadis-gadisnya. Mereka harus melalui derita penyesalan, memaknai kejadian, mengubah keyakinan, dan mengikhlaskan harapan, berharap bahagia akan muncul dalam bentuk pernikahan. Dan buku Jane Austen pun hadir memperlancar proses pendewasaan.

Novel dengan tema yang sangat tipikal tapi dengan jalan cerita yang unik! Tentu saja yang menarik perhatian saya pertama kali adalah covernya yang eye catching. Saya baca sinopsisnya kok kurang terkesan, tapi tetap saya beli juga. Awal membaca ceritanya membosankan, tapi lama-kelamaan bikin penasaran.

Buku ini berkisah tentang seorang ibu dengan tiga anak gadisnya; Emma, Meri, dan Lisa, yang sudah cukup matang untuk menikah tapi bahkan jodoh saja belum ada. Maka sebagai seorang ibu yang merasa khawatir anak-anaknya akan melajang sampai entah kapan, Ibu Sri, nama tokoh si ibu ini, berusaha mencarikan jodoh untuk mereka. Alkisah, walaupun sudah memiliki hubungan maupun pendekatan dengan pria, perjalanan cinta ketiga anak Ibu Sri kurang mulus, sehingga terpaksa beliau turut campur dalam hubungan mereka, hingga akhirnya mereka menikah juga dengan pria yang tepat. Dalam memberikan nasihat dan dukungan kepada anak-anaknya, Ibu Sri menyelipkan kisah-kisah dari buku-buku Jane Austen yang dirasa sesuai dengan kondisi yang dialami mereka, sehingga diharapkan anak-anak Ibu Sri bisa  mengambil pelajaran dan tahu apa yang harus dilakukan.

Nah, kenapa kok cewek-cewek itu belum nikah juga? Bukannya gak laku atau gak ada yang suka, tapi mereka semua trauma pernah mengalami patah hati di masa mudanya. Jadi mereka sedikit menjaga hati mereka untuk cowok-cowok yang ngedeketin. Jangan sampe cowok-cowok baru taraf PDKT tapi si cewek udah berharap lebih, takut patah hati lagi. Gimana mau nikah kalo calonnya aja belum ada karena masih belum move on..

Emma, dulu waktu SMA pernah punya pacar. Pacar pertama kalinya dan satu-satunya bernama Adit. Mereka pacaran lama banget sampai suatu ketika di umur mereka yang ke 25 Adit ngelamar Emma. Emma setuju. Eh, besoknya Adit ngabarin kalau mereka gak akan bisa nikah. Keluarga Adit kena masalah yang mengharuskannya menikah dengan sepupu jauhnya. Sedih banget.. 

Meri, ketika kuliah punya pacar yang bener-bener dicintainya bernama Edo. Mereka pacaran sampai kerja dan memang bercita-cita menuju pelaminan. Tiba-tiba aja, Edo menghamili temen sekantornya. Pupus sudah cita-cita mereka berdua untuk menikah..

Lisa, yang naksir banget sama seniornya di SMA, Deni. Eh, ternyata sahabatnya juga naksir. Jadi Lisa milih ngalah aja demi persahabatan. Sahabat Lisa, Amel, akhirnya pacaran sama Deni. Lisa sih, cuma bisa gigit jari liat mereka jalan bareng. Sstt, padahal sebenernya Deni ini juga suka sama Lisa. Tapi pas Deni ngajak jalan malah ditolak karena Lisa tahu kalo Amel suka Deni. Hati Lisa jadi tertutup untuk laki-laki lain.




Cerita ini dibagi menjadi empat sudut pandang yang berbeda dan diceritakan bergantian: Emma, Meri, Lisa, Ibu Sri. Pada bagian anak-anak perempuan, pembaca akan mengalami perjalanan kisah cinta dan mendengar kata hati mereka saat sedang mencari makna tentang cinta. Pada bagian Ibu Sri bercerita lebih kepada pengamatan dan nasihat beliau terhadap tingkah laku anak-anaknya. Menarik nih, sebab di setiap akhir bab cerita masing-masing tokoh selalu ada puisi yang ditulis oleh tokoh yang diceritakan tersebut. Puisinya bagus-bagus, lho.

Tokoh-tokoh dalam buku ini juga kaya rasa, masing-masing memiliki karakter yang berbeda. 

Emma adalah pemilik butik, perempuan yang Njawani, alus, kalem, sabar, dan tidak suka menampakkan emosinya secara terang-terangan. Karakternya sangat rumit, terutama pandangannya mengenai hubungan laki-laki dengan perempuan cukup berbelit. Nantinya Emma akan menghadapi dua pilihan laki-laki:
1. Dian, seorang dokter spesialis anak yang sudah sering jalan berdua dengan Emma tapi Dian sendiri belum juga ngajak pacaran.
2. Krisna, seorang duda dua anak pengusaha batik yang baru bertemu dua kali sudah ngajak Emma nikah.

Emma sebenarnya menaruh harapan pada Dian hingga dia menolak lamaran Krisna. Tapi ternyata setelah dua bulan mereka jalan bersama, Dian hanya menganggap Emma sebagai temannya, tidak lebih.. 

Meri, pekerja kantoran dengan karakter yang romantis, supel, populer, modis, gaul, cantik membuatnya banyak didekati laki-laki. Dia memang punya banyak temen laki-laki, tapi cuma satu yang bener-bener dicintainya. Pandangannya tentang cinta sebenarnya sederhana: romantisme. Makanya dia bingung milih mana diantara dua laki-laki:
1. Bimo, pacarnya yang fotografer tapi sudah tidak romantis lagi karena sudah tiga tahun pacaran.
2. Erik, editor di kantor Lisa yang punya hobi sama dengan Meri, plus dia sangat romantis. Erik bisa memberikan suasana yang lama dirindukan Meri; romantisme, humor, petualangan, kejutan-kejutan kecil, dan waktu (karena Bimo super sibuk). Dan akhirnya Meri pun selingkuh sama Erik.

Lisa, seorang jurnalis yang lugu dan membumi. Dia sedang galau karena naksir gebetannya pas SMA, bernama Deni, pengusaha restoran kaya raya yang sungguh tampan. Lisa bingung bagaimana cara dia menunjukkan perasaannya kepada Deni. Lisa yang trauma masalah percintaan karena melihat orang-orang terdekatnya ada yang selingkuh bahkan bercerai membuat dia takut juga untuk pacaran, apalagi nikah. Dia juga suka membandingkan laki-laki lain dengan Deni. Jadi banyak laki-laki yang belum dekat aja Lisa udah menjauh duluan. Ya gimana bisa kenal karakter mereka dong. Nantinya Deni mengungkapkan perasaanya sejak dulu sampai sekarang ini ke Lisa. Walaupun akhirnya tahu mereka sama-sama cinta, Deni akan pindah ke Amerika dan gak akan pernah kembali. Mereka tetap tidak akan bersatu.

Dua persamaan yang ada di setiap tokoh: 
1. Sama-sama punya cinta sejati, namun patah hati.
2. Sama-sama tercerahkan dan mau membuka hati untuk laki-laki lain setelah membaca novel Jane Austen.

Tapi untuk tokoh-tokoh cowoknya kurang suka, terlalu sempurna. Pintar, tampan, tinggi, baik, populer, kaya pake raya. Cerita ini juga menyiratkan kalau laki-laki yang ideal dijadikan suami adalah yang punya kriteria seperti tadi. Kan membosankan tuhhh, huhuhu padumenn..

Alur ceritanya lambat, apalagi ketika masing-masing tokoh sedang merenungi nasib cinta mereka, berpikir tentang arti cinta dan pernikahan, dan hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Cukup berbelit jadinya rada membosankan. Namun, ceritanya sendiri menarik dan gaya penulisannya unik.
 
Penulis sangat lihai menyelami karakter tokoh-tokoh yang semuanya perempuan. Beliau mampu mengungkapkan apa arti hubungan dan menyampaikan perasaan dari sudut pandang perempuan. Percakapan dalam buku ini juga bagus, tidak pakai bahasa gaul tapi tetep asik didengar

Saya suka buku ini karena memberi saya nasehat bahwa pada akhirnya kita tidak harus menikah dengan orang yang kita cintai, yang kita anggap adalah belahan jiwa kita, cinta pertama kita, cinta sejati kita, dsb. Mungkin seseorang yang kita nikahi nantinya bukan lah orang yang awalnya kita suka, atau kenal lama dengan kita, atau orang yang sesuai dengan kriteria dan standar kita, tapi pada akhirnya dia lah orang yang tepat untuk kita.

Novel ini juga bikin saya penasaran baca karya Jane Austen. Hedeh, payahnya sampe sekarang saya belum pernah baca literatur karya penulis epik itu. Genrenya mungkin yang bikin saya nanti-nanti dulu lah bacanya. Tapi saya berniat harus baca buku apa pun itu, tidak peduli itu buku filsafat, puisi, komik, buku anak, buku TTS, semangat.. Osh! (malah ngelindur).

Ada beberapa hal yang sedikit rasis, padahal sebenarnya itu realistis, terutama di lingkungan kita masyarakat Indonesia yang menganut budaya timur. Dikatakan bahwa profesi dokter dianggap profesi yang mapan dengan kasta yang paling tinggi, dimana laki-laki dengan profesi dokter layak untuk dijadikan suami. Laki-laki yang kaya raya juga dianggap sama. Selain itu, latar belakang para tokoh yang adalah orang Jawa, terutama perempuan, selayaknya bersikap kalem dan tidak elok menampakkan perasaannya secara terang-terangan. Mungkin ini juga pengaruh dari buku Jane Austen. Memang saya belum baca, tapi dari penuturan penulis saya sedikit paham tema karya-karya Jane Austen.

Ada sesuatu yang bikin saya bertanya-tanya. Kenapa Bimo gak ngajak nikah Meri dari dulu-dulu ya? Kan mereka udah lama saling kenal, mapan karier dan juga sudah cukup usia. Hmm.. Trus, Si Deni kalo emang cinta banget sama Lisa ya ajak aja Lisa ke Amerika. Lisa juga cinta, pasti mau lah diajakin pindah Amerika wkwkwk.
  
Ada beberapa kesalahan dalam penyebutan tokoh. Satu hal yang bikin bingung, di dalam setiap percakapan tidak ada keterangan siapa yang berbicara, dengan siapa dia berbicara, pokoknya gak jelas siapa yang ngomong. Padahal ada banyak adegan di mana empat orang yang berbeda saling mengobrolMbingungi..
 
Endingnya Emma nikah sama Krisna, Meri sama Bimo, Lisa sama Geri, sahabatnya. Pernikahan mereka bisa terjadi karena Ibu Sri ikut turun tangan menyatukan merekaSepertinya buku ini bagus kalau dijadikan film.