Minggu, 25 Februari 2018

[Resensi Novel Terjemahan] The Fate of The Tearling oleh Erika Johansen


The Fate of The Tearling
Erika Johansen

Judul asli: The Fate of The Tearling
Pengarang: Erika Johansen
Penerjemah: Angelic Zai Zai
Penerbit: Penerbit Mizan Fantasi
Cetakan pertama: November 2017
Jumlah halaman: 684 hlm

Pasukan Mort telah mundur tanpa melakukan pembantaian dan penjarahan, tapi bukan berarti Tearling terbebas dari ancaman. Tanpa keberadaan Ratu Kelsea, pihak Gereja Arvath semakin berani dan semena-mena, hingga mengancam untuk mengambil alih pemerintahan. Sementara itu, iblis gelap yang selama ini terpenjara di Pegunungan Fairwitch di utara, telah bebas dan mulai meneror rakyat.
Di dalam penjara, meskipun tidak lagi memegang kedua safir Tearling, Kelsea masih mendapat visi-visi dari masa lalu. Dengan putus asa, dia berusaha belajar dari kesalahan di masa lalu untuk memperbaiki masa depan. Apakah Tearling masih dapat diselamatkan dari kehancuran?

Tokoh-tokoh di buku sebelumnya yang sudah dikenal misterius dan tidak terkalahkan (tau lah, Fetch, Row, Ratu Merah) di buku terakhir ini jadi terasa lembek sekali. Buku ini mulai mengupas latar belakang mereka, para tokoh antagonis. Pembaca semakin mengenal mereka dan saya menyadari bahwa mereka ternyata sangat manusiawi. Berbeda sekali dengan citra yang saya tangkap tentang mereka sebelumnya. Bahkan Ratu Merah atau pun Ducarte tidak semenakutkan di buku sebelumnya. Semakin mendekati akhir buku semakin tidak semangat baca karena semakin lama para villain semakin payah. Mereka tidak tampak membahayakan, mengancam, dan menggoda seperti di dua buku sebelumnya. Saya pikir musuh utama Kelsea adalah Ratu Merah dan legiunnya yang mematikan. Saya pikir Kelsea bakalan jungkir balik mencari cara bagaimana mengatasi Ratu Merah dan pasukannya yang tidak terkalahkan dengan negosiasi atau bertahan atau apa pun TANPA sihir. TAPI

Seperti biasa, saya suka gaya penulisan Miss Johansen; suka dengan pemilihan kata-katanya dan penyusunan serta penyampaian kalimatnya. Tidak terlalu puitis dan filosofis tapi tetap indah. Tidak juga blak-blakan. Seperti di h. 39 p. 5 pada akhir paragraf,"Namun, tiga orang di belakangnya merupakan teka-teki." Miss Johansen memilih menggunakan kata teka-teki yang menurut saya terdengar lebih bagus daripada kata lain yang sepadan.

Setiap tokoh memegang peranan penting pada jalannya cerita. Ada beberapa tokoh yang tidak terlalu berpengaruh pada inti cerita tapi penulis seperti ingin menegaskan atau menunjukkan suatu hal melalui tokoh tersebut kepada pembaca. Misal, cerita Javel dengan Allie menyiratkan kalau laki-laki juga bisa lemah dan wanita sebaliknya, ingin dan mampu mandiri dan menjadi kuat. Cerita Aisa menggambarkan realita KDRT, pedofil, dan trauma masa lalu yang bisa mempengaruhi kehidupan seseorang. Itu semua mengarah pada kecacatan utopia disebabkan karena watak alami manusia.

Cerita masih di seputar para tokoh dari buku dua; hanya ada sedikit tokoh baru yang membuat saya lega, karena saya masih terikat dengan tokoh-tokoh sebelumnya dan sebenarnya tidak terlalu suka cerita dengan banyak tokoh karena rasanya jadi tidak fokus..

Baca Bab 5. Nukilan Ucapan Ratu Glynn, DIKUMPULKAN OLEH BAPA TYLER. That s the point! Saya rasa ide utama penulis membuat cerita ini adalah bahwa utopia itu tidak nyata. Penulis ingin menunjukkan bahwa cita-cita manusia untuk membangun dunia utopia sebenarnya mustahil. Penulis seperti ingin mematahkan mantra utopia. Lihat, tidak ada yang namanya utopia di seluruh alam semesta ini. Keren!

Quote:
Kau istimewa, semua istimewa. Tapi, kau tidak lebih baik. Semua orang berharga (h. 186).  Pelajaran pertama di dunia baru, cita-cita utopia.
Utopia bukan berarti memulai dari awal seperti yang dibayangkan Tear, melainkan sebuah evolusi. Umat manusia harus berjuang untuk mencapai keadaan itu, dan berjuang keras, mendedikasikan diri untuk selalu mewaspadai kesalahan masa lalu (h. 447). Tear yang sepertinya tahu segalanya dan selalu benar ternyata malah yang membuat kesalahan paling fatal. 

Nasehat:
1. Jangan melupakan/menutup-nutupi masa lalu, jadikan itu sebagai pelajaran. Apa yang mengubah Row adalah karena dia tidak tahu tentang masa lalu - masa sebelum Penyeberangan. Dia mengira kalau kehidupan sebelum Penyeberangan lebih baik sehingga dia ingin kembali ke dunia lama.
2. Setialah ^^; Agar tidak ada Row-Row yang lain. Ratu Merah sendiri memiliki masa lalu kurang lebih seperti Row. Itulah pentingnya belajar dari masa lalu, agar kisah buruk tidak terulang lagi.
3. Siapa pun kamu, bagaimana pun latar belakangmu, kamu tetap bisa menjadi hebat seperti Kelsea. Dan juga Aisa. Juga Ewen. Juga Ratu Merah.

Cerita di buku ketiga ini semakin rumit saja. Sihir semakin banyak terlibat, perjalanan waktu yang membingungkan. Tidak seperti bayangan saya ketika membaca buku pertama; membayangkan cerita seru, menegangkan, dan lebih logis! Penasaran banget, kan, gimana cara Kelsea mengatasi ancaman Mortmesne sekaligus ancaman dari dalam kerajaannya sendiri, plus segala kebobrokan di wilayah kerajaannya.

Berdasar pada buku-buku sebelumnya saya berharap lebih tapi saya sebenarnya merasa kecewa pada beberapa cerita di buku ini. Seperti perpisahan Pen dengan Kelsea yang hanya seperti itu! (emang mau berharap yang kaya apa juga, ini kan cinta antara ratu dengan pengawalnya. Tapi kan, tapi kan.. sob). Lalu kematian Ratu Merah yang kelihatannya terlalu mudah untuk ukuran seorang Ratu Merah yang di buku sebelumnya digambarkan seperti apa tahu sendiri. Bahkan misteri yang paling ditunggu jawabannya sejak di buku pertama, siapa ayah Kelsea, ternyata cuma begitu saja. Disamping itu semua, plot twistnya oke, seperti peran Ewen yang seolah menjadi superstar diantara para superstar, menjadikan buku ini punya nilai 50:50 - gak bagus tapi juga gak jelek.

Kesan setelah menutup buku: ASTAGA. Turut berduka untuk Kelsea. Ada harga yang harus dibayar. Saya merasa Kelsea seperti tumbal; dia harus menderita untuk menyelamatkan Tearling dan rakyatnya. Dia selalu menderita, baik di masa kini maupun masa yang akhirnya tidak pernah terjadi. Saya juga sedih karena akhirnya harus berpisah dengan Tearling dengan segala isinya. Nah, pertanyaanya:
1. Apakah mahkota Tearling masih terpendam?
2. Bukankah yang membunuh Jonathan itu Katie dan bukannya Row?
Sebenarnya masih buanyak pertanyaan, misalnya seperti apa sebenarnya kutukan yang menimpa Row dan kawan-kawannya? Namun pada akhirnya semua pertanyaan itu tidak lagi terasa penting sebab itu ditujukan untuk masa yang tidak pernah terjadi.